03 July 2012

Farid Stevy Asta dan Kebahagiaannya yang Sederhana



Saat pertama kali saya mengenalnya, di mata saya, ia hanyalah seorang vokalis sebuah band yang tidak terkenal. Sekilas, ia tampak kurus, kumal, dan seadanya. Sama sekali tidak menarik. Namun seiring berjalannya waktu, perlahan saya mulai mengaguminya, bahkan mentasbihkannya sebagai idola baru saya.

Farid Stevy Asta
Dia adalah seorang Farid Stevy Asta (29). Pemuda asli Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Kami bertemu pertama kali di sebuah panggung kecil di sudut Yogyakarta. Saya menjadi penonton menyimaknya sambil terpesona sedangkan ia menjadi pusat perhatian menyanyikan Mati Muda dengan sangat bijaksana. Stage act-nya meledak-ledak dalam kemalas-malasan. Mengendap-endap dalam gelap untuk kemudian ‘menikam’ para penonton dari belakang ketika ritme lagu mencapai puncaknya. Suasana itu makin lengkap dengan kostum yang serba hitam, perlambang ikut berkabung kepada apa saja yang sekiranya perlu untuk didukakan.



Farid menamai bandnya dengan nama Jenny. Ia ibaratkan Jenny adalah seorang wanita sundal yang meninggal ketika melahirkan anak perempuan kecil hasil hubungan terlarang, dan kini keempat personel Jenny harus membesarkan dan menjadi bapak tidak resmi dari anak tersebut. Terlepas dari arti nama Jenny yang absurd, saya mengapresiasi Farid dengan segala macam ‘dosa’ yang ia perbuat dari musikalitasnya. Bersama Jenny, ia menjadi raja pensi di Yogyakarta. Dari satu bulan dalam setahun, selalu ada jadwal panggung untuk Jenny di Yogyakarta.

Jenny terbentuk di kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada pertengahan 2003. Beranggotakan Farid Stevy Asta (vokal), Arjuna Bangsawan (bass), Roby Setiawan (gitar), dan Anis Setiaji (drum), awalnya Jenny dibentuk murni untuk menjadi pengisi acara malam keakraban jurusan. Lambat laun semakin berkembang dan orang-orang mulai mengenalnya.

Musik Jenny bercita rasa perpaduan antara rock modern, rock n roll, dan garage rock dengan komposisi pas tanpa tambahan penyedap rasa. Orang-orang bilang Jenny adalah The Strokes versi Indonesia, kalau saya bilang Jenny ya Jenny.

Album pertama Jenny bertajuk Manifesto (2009). Liriknya berkutat tentang manusia-Tuhan-hidup-mati, rutinitas keseharian, dan hal-hal sensitif lainnya. Ada 10 lagu di dalam Manifesto, yaitu antara lain Resistance is Futile, The Only Way, Look With Whom Im Talking To, Mati Muda, Monster Karaoke, Mahaoke, Menangisi Akhir Pekan, 120 dan Manifesto Postmodernisme. Untuk single Mati Muda, tercatat sebagai salah satu pengisi soundtrack film layar lebar Radit & Jani (2008). 

Setelah melahirkan album Manifesto, kemudian terlahir pula dua free download single: Hujan Mata Pisau dan Hari Terakhir Peradaban (HTP). Adapun single HTP adalah prolog kasar, jembatan menuju album kedua yang entah kapan akan dirilis.

Setelah merilis dua single tersebut terjadilah satu peristiwa besar dalam dunia Jenny, yaitu perubahan nama dari Jenny menjadi Festivalist. Hal ini dilakukan untuk menghormati dua personel yang memilih keluar dari Jenny untuk melanjutkan karir di luar Jenny. Arjuna Bangsawan (bass) digantikan oleh Humam Mufid Arifin dan Anis Setiaji (drum) digantikan Danish Wisnu Nugraha. Sebelumnya, Festivalist adalah nama kolaborasi proyek seni rupa antara Farid dan Roby yang kemudian dibawa naik untuk dijadikan nama baru dari Jenny. Festivalist mempunyai arti orang-orang yang berkumpul, bersenang-senang, dan merayakan suatu hal bersama. Menurut Farid, Festivalist adalah personel dan para fans. Semuanya sama, setara dalam jubah Festivalist. Jenny adalah Festivalist dan Festivalist adalah Jenny.

Di luar kesibukan bermusik, Farid menghabiskan waktunya untuk berkarya di galeri kecil miliknya “Liberated Studio”. Bertempat di sebuah rumah kontrakan sederhana di daerah Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Selain itu, ia juga mempunyai proyek sampingan juice bar “Juicide” yang berlokasi di Bandung dan usaha apparel dengan merk dagang “Affairs”.

Farid adalah jebolan ISI Yogyakarta jurusan Desain Komunikasi Visual. Insting seninya sama kuat dengan insting bermusiknya. Mengenai hasil pernikahannya dengan musik dan seni, mungkin ia belum seterkenal Jimmy Multazam-nya The Upstairs ataupun Arian13-nya Seringai, tetapi beberapa artwork-nya patut diacungi jempol. Ia sering didaulat untuk membuatkan logo atau brand image oleh orang-orang disekitarnya. Berikut ini beberapa di antara karyanya:

Beberapa artwork karya Farid

Prestasi terbesar Farid selama ini menurut saya adalah menjadi pemenang dari sayembara logo yang diadakan PT KAI. Dari situ ia mendapat hadiah penghargaan senilai Rp200 juta, yang dilansir dari salah satu artikel berita online, uang tersebut akan digunakan untuk membantu keluarga dan untuk modal produksi album kedua. Niatan tulus sekaligus humoris.
Sebagai seorang artis di jagat permusikan Yogyakarta, ia tidak lantas menjadi sombong dan tampil jumawa. Ia masih mengusung kesederhanaan dalam berkarya. Dalam kesederhanaannya, menurut saya, ia telah mencapai taraf tertinggi dalam hidup manusia, yaitu: bahagia. Bahagia dengan sepak terjangnya di dunia musik, seni, bisnis, dan doktrin idealismenya kepada otak kaum muda. Kalau belum tahu, hashtag #bahagiaitusederhana itu tercetus dari otaknya. Dari kebahagiannya yang sederhana, ia kemudian menularkan kebahagiaan-kebahagiaan lain kepada orang sekitarnya. Mulia.

(Tulisan ini pernah saya ikut sertakan sebelumnya
dalam sebuah lomba menulis artikel)

3 comments:

 
;