13 February 2014

Hujan dan Pelarianku


"Ardi, Andi, cepat masuk rumah!" terdengar teriakan Ayah dari dalam rumah. Aku diamkan saja. Toh ini hari Sabtu. Kata Ayah aku boleh main sampai malam.

Duar!
Terdengar suara guntur dari balik bukit. Awan gelap berarak perlahan meutupi desa ini. Sepertinya sebentar lagi akan hujan.

"Ayo cepat masuk!" teriakan Ayah semakin kencang. Tak kalah menggelegar dari guntur barusan.


Ah, ayah apa-apaan sih. Aku gak bakal kenapa-kenapa. Toh cuma air hujan. Kalau basah, nanti juga bisa dikeringkan. Aku menggerutu dalam hati. Kesal karena Ayah tak bisa mengerti anaknya sendiri.

"Dor! Dor! Mati kamu!" Andi mengarahkan ujung pistol kayunya tepat ke dadaku.

"Aaaaak.." Aku terjatuh di tanah. Pura-pura mati karena tertembak. Sedangkan Andi malah tertawa terkekek melihat aku pura-pura meregang nyawa.

"Ayo cepat! Jangan ngeyel!" Ayah sudah jengkel. Kemudian ia menghambur ke halaman. Menghampiri letak kami, aku dan Andi, adikku, yang sedang asyik bermain perang-perangan.

Ayah meraih tangan kami dan menggandeng kami masuk rumah. Kami menurut saja.

 
;