09 November 2011

Right Man in the Right Place

Pada sebuah perkuliahan, saya mendapati teman saya sedang membaca sebuah modul perpajakan. Iseng-iseng saya pinjam lalu saya baca halaman pertamanya:

    Pajak Penghasilan
    Pemotongan dan Pemungutan
    (Disusun oleh) Frenda Nic Qomar Ernanto
    Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak
    Direktorat Jenderal Anggaran


Modul tersebut disusun oleh kakak tingkat saya di DIII Spesialisasi Administrasi Perpajakan. Walaupun saya tidak mengenal penyusun modul tersebut, setidaknya saya tahu siapa Frenda. Ia merupakan salah satu dari sepuluh orang pemilik IPK tertinggi di tahun kelulusannya.

Adakah yang aneh?
Saya ulangi lagi:

    Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak



***

Dalam hal ini, saya hanya ingin mempertanyakan nasib seorang manusia. Saya membaca situasi ini sebagai semacam ‘pemurtadan’ kompetensi dari seorang lulusan STAN. Dengan kemampuan pemahaman perpajakan yang baik, seperti yang bisa kita baca dari IPK-nya, hendaknya dalam dunia kerja Frenda bisa mendapatkan penempatan sesuai kemampuannya: Direktorat Jenderal Pajak. Namun kenyataannya, jauh dari yang dibayangkan: Direktorat Jenderal (bukan) Pajak.

Saya menjunjung tinggi asas spesialisasi, the right man in the right place. Ketika seseorang ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai kompetensinya, tentu saja akan berakibat pada ketidakoptimalan dalam bekerja. Ilmu yang ia kuasai akan ‘menguap’ sia-sia karena tak sering berguna dalam dunia nyata. Yang saya maksud di sini adalah penempatan instansi, bukan penempatan wilayah kerja, karena selama ini penempatan instansi terkesan random dan tidak terprediksi. Oleh karena itu, diperlukan tinjauan apakah sistem penentuan penempatan yang berlaku selama ini telah menghasilkan output yang optimal atau belum.

Seperti yang kita ketahui, salah satu parameter utama dalam penentuan penempatan lulusan STAN adalah IPK. Sementara itu, kemampuan seorang lulusan selain dalam hal akademis tidak diperhatikan. Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan yang menjadi penentu dalam penempatan lulusan STAN, terkesan seperti menutup mata terhadap parameter lain yang sekiranya bisa dijadikan bahan pertimbangan.

Ketika saya mengikuti pembukaan Dinamika hampir tiga tahun yang lalu, Kusmanadji, selaku Direktur STAN, menggaungkan bahwa mahasiswa STAN selain memiliki hard skill yang mumpuni juga harus mempunyai soft skill yang matang. Skill tersebut bisa diperoleh dengan mengikuti kegiatan yang ada di kampus atau di luar kampus. Selain jago akuntansi, mahasiswa juga dituntut untuk jago dalam berorganisasi. Mereka mesti bisa membagi waktu antara kapan harus belajar, bersenang-senang dan tenggelam dalam kesibukan organisasi. Namun pada kenyataannya, dalam penentuan penempatan, soft skill diabaikan.

Setiap tahunnya, ada ribuan lulusan STAN yang perlu ditempatkan. Lembaga mempunyai keterbatasan tenaga untuk melakukan penilaian apabila nantinya soft skill mahasiswa menjadi pertimbangan dalam penentuan penempatan. Untuk menyiasati hal ini, ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Alternatif pertama, Lembaga dapat menyewa jasa dari perusahaan penyedia layanan HRD (Human Resource Development). Nantinya, bisa diadakan psikotes ataupun wawancara personal terhadap mahasiswa sehingga diketahui bidang apa yang sesuai dengan minat dan kemampuan mahasiswa tersebut.

Alternatif lain, mahasiswa DIII Khusus atau DIV bisa dilibatkan dalam penilaian ini. Selain dikirim dalam rangka tugas belajar, mahasiswa yang sebelumnya telah pernah menjadi mahasiswa STAN tersebut, bisa didaulat untuk menjadi scout atau pemandu bakat bagi adik-adik tingkatnya.

UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang selama ini berperan sebagai wadah aktualisasi diri mahasiswa, juga bisa dijadikan media dalam menilai soft skill mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa Spesialisasi Pajak yang dikenal aktif dalam UKM yang bergerak dalam bidang teknologi informasi, bisa diusulkan untuk ditempatkan di Direktorat PDI (Pengolahan Data Informasi) Direktorat Jenderal Pajak.

Penempatan itu misteri, layaknya takdir. Semuanya telah digariskan. Dan yang paling tragis adalah kita hanya terima jadi. Tidak bisa mengupayakan apapun. Terkesan selama ini kita hanya ‘mengejar setoran’. Tiap semester harus dapat IP di atas 2,75. Syukur-syukur bisa cumlaude.

Dengan dijadikannya soft skill sebagai salah satu pertimbangan dalam penentuan penempatan, setidaknya mahasiswa akan terpacu untuk ikut aktif dalam dinamika kampus dan tidak hanya melulu berkutat pada buku dan undang-undang. Sehingga nanti kegiatan di kampus akan sehidup universitas pada umumnya. Harapan saya, kelak tidak ditemukan lagi open recruitment atau pendaftaran seminar yang mesti diperpanjang karena paradigma yang selama ini salah kaprah: “Apa gunanya CV kalau dengan ijazah kuliah saja kita bisa mendapatkan kerja yang mapan?”

Arswendy Danardhito
Manajer Art Center Media Center STAN 2010/2011


Sebelumnya pernah dimuat pada Tabloid Civitas Media Center STAN
Edisi No. 16/Tahun VIII/Minggu III/Juni/2011

3 comments:

  1. tapi yang terbaik menurut kita belum tentu benar-benar baik buat kita..

    Tuhan lebih tahu yang mana yang lebih baik dek :D

    ReplyDelete
  2. Hahaha...ternyata tulisan ini juga Sdr muat di blog...setelah beberapa bulan silam saya sempat pula membacanya...

    Tidak ada masalah bagi saya dengan apa yang ditulis dalam artikel tersebut. Namun, ada hal yang perlu saya luruskan terkait isi artikel dimaksud terutama pada redaksi yang cukup mengganggu saya:

    "Dalam hal ini, saya hanya ingin mempertanyakan nasib seorang manusia. Saya membaca situasi ini sebagai semacam ‘pemurtadan’ kompetensi dari seorang lulusan STAN. Dengan kemampuan pemahaman perpajakan yang baik, seperti yang bisa kita baca dari IPK-nya, hendaknya dalam dunia kerja Frenda bisa mendapatkan penempatan sesuai kemampuannya: Direktorat Jenderal Pajak. Namun kenyataannya, jauh dari yang dibayangkan: Direktorat Jenderal (bukan) Pajak"

    Inilah yang terjadi ketika seorang penulis tidak melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada sumber berita sehingga isi artikel hanya berasal dari satu sisi yaitu sisi penulis.

    Pemberian opini dalam suatu tulisan (apalagi ini adalah blog Anda sendiri) adalah sah seperti yang Sdr tulis dalam paragraf-paragraf setelah paragraf yang saya kutip di muka. Juga ini adalah hal lumrah di media massa, dengan editorial atau tajuk redaksi masing-masing.

    Namun, ketika opini tersebut mengarah ke sesuatu hal yang tidak mengandung unsur baik/buruk atau benar/salahnya dan ditujukan ke satu pihak, maka opini tersebut bisa bermakna berbeda, yaitu penghakiman atas suatu hal sehingga esensi opini yang mengedepankan intelejensi dan interpretasi atas fakta yang ada menjadi samar.

    Bukankah pasal 3 kode etik jurnalistik mengatakan:Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang,
    tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas
    praduga tak bersalah.

    Pengujian informasi dan penyajian fakta atau opini inilah yang menyebabkan saya cukup terganggu dengan redaksi yang saya kutip tersebut.

    Maka adalah benar komentar di atas saya:
    "tapi yang terbaik menurut kita belum tentu benar-benar baik buat kita..

    Tuhan lebih tahu yang mana yang lebih baik"

    Jadi, tetaplah menulis Sdr Arswendy Danardhito...karena banyak hal yang bisa dipelajari dari menulis...


    Salam hangat,


    Frenda Nic Qomar Ernanto
    Tulungagung, 05 Mei 1990
    Sekarang tinggal di Jakarta Pusat dan bekerja di Subdirektorat Penerimaan Panas Bumi dan Hilir Migas, Direktorat PNBP, Ditjen Anggaran
    Alumni STAN Spesialisasi Administrasi Perpajakan

    ReplyDelete
  3. Wow, ternyata yang memberi komen adalah Mas Frenda langsung. :)

    Iya terima kasih Mas atas sarannya. Sebenarnya saya mau konfirm ke Mas, tapi enggak punya kontaknya. Hehe. *Bilang aja males cari :P

    Di Medcen saya bergerak di bidang art/desain selam 3 tahun baru menulis 2 artikel, jadi maklum kalau kemampuan menulis saya tidak sebaik seperti seharusnya seorang jurnalis kampus.

    Saya hanya ingin mengungkapkan rasa "ngganjel" saya agar bisa membuka mata banyak pihak. Terutama teman-teman seangkatan saya. Agar kelak apabila berada dalam posisi "yang tinggi", tetap mempertimbangkan segala aspek yang sekiranya perlu.

    Saya setuju dengan ini:
    "yang terbaik menurut kita belum tentu benar-benar baik buat kita..
    Tuhan lebih tahu yang mana yang lebih baik"

    Permata, di mana saja ditempatkan, tetap saja permata.

    Salam. :)

    ReplyDelete

 
;